Fifi

Balasan Forum telah dibuat

Melihat 11 tulisan - 1 sampai 11 (dari total 11)
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
  • atas balasan kepada: PPh Pasal 22 atas impor #3656 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    <p style=”text-align: left;”>iya pilihan, jadi jika sudah disetor sendiri berarti langsung ke bank presepsi, kalau belum berartti dipungut oleh djbc</p>

    atas balasan kepada: Perlakuan Go-Massage #3655 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    izin menambahkan

    Kemaren sempat didiskusikan di kelas terkait masalah ini, sebenernya dalam konteks pengertian, go massage bisa masuk dalam objek pajak hiburan, namun, dalam pelaksanaannya masih berada dalam zona abu abu dikarenakan tidak adanya peraturan terkait baik peraturan pemerintah atau pemerintah daerah yang memberikan kepastian mengenai siapa yang akan dipajaki dan harus membayar pajak. belum dijelaskan pula mengenai pemberian jasa pemijatan yang dilakukan secara mobile. karena, dalam aturan selama ini panti pijat hanya berdiam dalam satu tempat dan dan disediakan oleh satu orang/pengusaha.

    dalam hal ini, dosen kami menjawab jika go massage memang tidak dapat dikenai pajak daerah terkait pajak hiburan dikarenakan belum ada ada aturan spesifik mengenai pemberian jasa pemijatan yang dilakukan secaa mobile dan disediakan oleh provider.

    mohon koreksi

    atas balasan kepada: PPh Pasal 22 atas impor #3586 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    Mohon izin menjawab

    kemaren sempat konfirm ke dosen pot put untuk hal ini,

    beliau mengatakan bahwa, seyogyanya sebelum impor, kita dapat memungut pph 22 atas barang yang akan kita impor secara self assessment atau atas kemauan sendiri dan swbwlum diregistrasi ke DJBC. atas pemungutan sendiri ini lah yang kita setorkan pajak atas pph 22 impor nya ke bank devisa. sedangkan, mekanisme  pemotongan oleh DJBC terjadi ketika kita melaporkan transaksi yang akan kita lakukan kepada DJBC terlebih dahulu dan pph 22 impor belum dilunasi, maka disini Pph 22 atas impor akan dipotong oleh DJBC.

    demikian yg saya dapat jawaban dari dosen pot put kelas kami. terimakasih

    atas balasan kepada: Perlakuan Go-Massage #3566 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    <p style=”text-align: left;”>Dari kemarin saya cari topik ini untuk menemukan jawaban yang cocok belum menemukan. tapi memang seharusnya wajib pajak (op/badan yang menyediakan hiburan dengan dipungut bayaran) yang akan menyetor pajak, memungut pajaknya dari subjek pajak (op/badan yang menikmati hiburan)</p>
    yang dipertanyakan disini, apakah pajak tersebut tetap dipungut oleh gojek? ataukah daripartner gojek yaitu si pemijat?

     

    sedangkan kita, go massage mendatangkan pemijatnya ke tempat kita, dia bukannya membuka lapak atau tempat tersendiri yang digunakan untuk panti pijat dan kita diharuskan kesana.

    ini sih yang masih jadi pertanyaan saya, apalagu kalau dipukul rata harus membayar pajak hiburan 75% sedangkan belum tentu partner yang memberikan layanan pemijatan mendapat hasil yang maksimal setiap harinya.

    ataukah gojek yg akan menjadi wajib pajak hiburannya. smg segera mendapat pencerahan yaa hehe

    atas balasan kepada: Dual resident tie-breaker rules #3521 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    Centre of vital interest merupakan penilaian subjektif yang digunakan dalam tie breaker rule untuk menentukan negara mana yang berhak memasukkan person tersebut sebagai resident.

    dalam hal ketika langkah pertama (permanent home) terdapat dikedua negara yang mengakui sebagai resident, sesuai pasal 4 ayat 2 OECD Model, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah melihat pada centre of vital interest. Ketika centre of vital interest mempunyai kedudukan yang sama, maka dipersilahkan untuk melihat pada step selanjutnya yaitu habitual abode atau tempat dimana person melakukan kegiatan sehari – hari atau kebiasaannya.

    Kembali ke penentuan centre of vital interest, memang diperlukan telaah lebih lanjut apabila akan menentukan kedudukan person sebagai resident di suatu negara karena test ini bersifat subjektif. penjelasan dapat dilihat di commentaries OECD. Semuanya diukur, mulai dari family relation, occupation, politic, cultural dll dan dipilih di negara mana yang he lays his vital interest the most. Kaya misal di negara X dia kerja saja, tapi di negara Y dia ada istri dan punya kerjaan juga, maka vital interestnya ada di negara Y (Karena keluarga inti kan biasanya di satu negara not both of the country, kecuali istrinya satu satu di masing – masing negara, baru berbeda lagi perlakuannya hehe)

    mungkin bisa untuk bahan bacaan

    https://www.bna.com/wheres-center-vital-n17179873803/

    Nice to know dengan membaca commentaries OECD nya juga

    Salam

    atas balasan kepada: Tax Sparing credit relief #3520 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    Ketika suatu negara menggunakan exemption method untuk mengeliminasi pajak berganda yang dimungkinkan timbul. Maka tidak ada penghasilan luar negeri yang diakui sebagai penambah penghasilan yang akan diperhitungkan di dalam negeri. Maka dari itu, tidak ada pajak penghasilan luar negeri yang dapat di kreditkan dalam hal ini termasuk pengkreditan pajak yang “seolah – olah” telah dibayar atas dasar tax sparing credit di negara sumber.

    Contoh, A mempunyai Penghasilan Luar Negeri 200, tarif pajak 25%. Pajak yang seharusnya terutang dan dibayar di LN 25, tetapi negara X di LN mengadopsi tax sparing credit jadi tidak ada pajak yang dipungut namun seolah2 wajib pajak telah membayar pajak sebesar 25 tersebut.

    Di dalam negeri dia memperoleh penghasilan 300. Tarif pajak dalam negeri 20%. Negara ini menganut asas exemption untuk metode eliminasi pajak bergandanya. Maka, atas penghasilan LN 200 tidak diperhitungkan sebagai penambah penghasilan dalam penghitungan pajak terutang. Pajak terutang 60. dan tidak ada credit pajak yang dapat diakui karena metode yang digunakan sudah mengecualikan penghasilan luar negeri dari penghitungan pajak terutang.

    Dalam hal ini fasilitas tax sparing credit yang diberikan Negara X tidak dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak.

    Salam

    atas balasan kepada: Tarif Progresif Pajak Kendaraan Bermotor #3389 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    Waalaikumsalam warahmatullah

    Senada dengan Sdr Anggun, dalam UU PDRD memang disebutkan kata dan/atau yang berarti bilamana salah satu atau kedua syarat terpenuhi maka tarif pajak progresif atas kendaraan bermotor akan dikenakan. Biasanya hal hal teknis ini diatur lebih lanjur di Perda daerah masing – masing.

    Salah satunya contohnya dapat dilihat di website resmi badan pengelola PDRD DKI Jakarta yang mensyaratkan untuk memberikan fotokopi KK atau Kartu Keluarga untuk melihat persamaan atau perbedaan alamat.

    http://bprd.jakarta.go.id/2016/09/21/pengenaan-pajak-kendaraan-bermotor-ditetapkan-secara-progresif/

    atas balasan kepada: Apabila P3B belum ada #3310 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    Waalaikumsalam warahmatullah

    Izin berpendapat.

    Untuk dapat dipajaki atau liable to tax di suatu negara. Harus diidentifikasi terlebih dahulu 1. subjek pajak, 2. objek pajak dan 3. transaksi yang diindikasikan memiliki potensi pemmajakan menurut domestic rule di suatu negara. Di Indonesia sendiri, untuk dapat dikenai pajak atau menjadi wajib pajak, harus memenuhi kriteria subjek pajak terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU No 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Apabila seorang persons atau taxable subject memenuhi kriteria menjadi subjek pajak dalam negeri, maka atas objek pajak dan transaksi yang dilakukan dapat dikenai domestic rule  di Indonesia. Namun, apabila ternyata tidak memenuhi kriteria sebagai SPDN maka kita perlu menentukan orang tersebut masuk ke resident mana sebelum memajaki penghasilan yang bersumber di Indonesia. Agar tidak terjadi double taxation dengan negara domisili persons tersebut.

    Pada dasarnya, P3B hanya digunakan ketika terdapat konflik antara domestic rule dengan P3B dalam mengatur hal yang sama. Dalam hal ini P3B bersifat lex specialis di antara kedua negara yang berkontrak. (Penjelasan ada di buku Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, Darussalam dan Danny Septriadi halaman 32)

    Yang perlu ditekankan adalah, penggunaan P3B yang hanya dilakukan ketika timbul benturan antara hukum domestik dengan ketentuan P3B saja. Jadi, ketika tidak ada benturan, alias antara domestic rule dan P3B aman – aman saja, maka tentu domestic rule dalam suatu negara yang diterapkan.

    Apabila antara negara source dan domisili tidak ada P3B yang mengikat dan kedua negara memiliki asas pemajakan world wide income, maka masing – masing negara berhak memajaki sesuai hukum domestic masing – masing. Memang bisa menimbulkan double taxation antara kedua negara. Seperti pertanyaan yang pernah saya lontarkan pada forum sebelumnya, banyak rekan – rekan yang juga sependapat dan memberikan tambahan bahwa double taxation bisa tidak terjadi apabila antar negara memiliki exemption atau pengkreditan dalam domestic rulenya, contohnya seperti di Indonesia yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh. selengkapnya https://wikipajak.com/topic/double-resident-and-double-taxation/

    Terimakasih

    atas balasan kepada: SPLN mendapat penghasilan dari Indonesia #3292 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    Izin menanggapi, benar seperti yang disebutkan Sdri Naya bahwa menurut PER 2/PJ/2009, WNI yang bekerja di luar negeri selama lebih dari 183 hari dalam 12 bulan ditetapkan sebagai SPLN. Bagaimana penentuan resident nya? sebagaimana kita ketahui bersama, dalam kuliah pertemuan 7 PI kemarin, jika dia SPLN kita berhak menentukan dia resident mana agar tidak terjadi double taxation atas subject yang sama dengan melihat pada P3B antara contracting state negara sumber penghasilan dan negara resident.

    Penentuan resident sendiri bergantung pada negara mana yang menganggap persons ini sebagai SPDN.  apabila menurut domestic rule negara X yang mempekerjakannya, karena dia berada di negara x selama lebih dari 183 hari menurut time test dan mendapat penghasilan serta tinggal di negara X, maka ia akan menjadi resident negara X dan berhak dikenai pajak menurut domestic rule negara x.

    Indonesia sebagai negara sumber penghasilan atas investasi saham dan penyewaan kontrakan tetap dapat mengenakan pajak terhadap SPLN tersebut dengan terlebih dahulu menentukan subjek pajak, objek pajak dan wajib pajak sesuai dengan domestic rule Indonesia yaitu UU No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan barulah melihat P3B antara Indonesia dengan negara resident persons tersebut.

    Dalam hal ini subjek pajak harus diidentifikasi ulang, apakah tetap persons atau BUT sesuai dengan Pasal 5 UU PPh. Atas penghasilan berupa kontrakan/Immovable property (pernah dijelaskan di kelas juga) yang merupakan harta tak bergerak yang memiliki kebebasan untuk dipajaki menurut hukum negara domisili dan negara sumber (may be tax without limitation) yang diatur dalam Art 6 OECD Model, karena terdapat kata without limitation berarti atas objek tersebut dapat dikenakan pajak sesuai hukum domestic negara sumber (Indonesia) dalam hal ini pasal 4 ayat 2. Penghasilan atas investasi saham di bursa efek juga diatur dalam pasal 4 ayat 2 UU PPh atas dividen yang diterima oleh persons. Art 10 (1) OECD model menyatakan bahwa, “Dividend paid by the company which is a resident of a contracting state to a resident of the other contracting state may be taxed in that other state”dijelaskan di buku kelvin holmes halaman 218 bahwa Country R (other state) doesnt have to tax the dividends but may do so if it wishes. in other words, if under its domestic law, country R taxes foreign dividends derived by its resident stakeholders, the DTA between county R and Country S is not going to stop country R from doing so. Berarti jika dari negara lain mengatur bahwa dividend yang didapat oleh persons dari world wide income akan dipungut disana, maka negra sumber tidak berhak memungut pajak atas penghasilan tersebut. Karena sebagaimana kita tahu OECD Model lebih menekankan atas pengenaan pajak kepada negara domisili bukan negara sumber. berbeda halnya apabila yang digunakan adalah UN Model (penjelasan ada di buku kelvin holmes halaman 219)

    Mohon koreksinya

    atas balasan kepada: Tie Breaker #3242 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    izin menyampaikan pendapat

     

    tie breaker rule dipakai jika satu orang menjadi residen menurut 2 negara yang terikat p3b.

    Jika hanya menjadi residen di satu negara saja maka berlaku undang undang domestik di negara dimana taxable subject diakui sebagai residen.

    Dalam kasus ini jika Mr Kim memenuhi syarat menjadi residen di dua negara yang berbeda, anggap Indonesia dan Korea, tie breaker rule dijalankan, asumsi kemudian setelah tie breaker rule dijalankan mr kim adalah residen korea, maka meski di indonesia tinggal lebih dari 183 hari, maka mr kim tetap  residen di korea.

     

    Untuk mr. Park, jika mr park bukan merupakan residen korea namun merupakan residen indonesia, karena hanya menjadi 1 residen di suatu negara, bukan 2 seperti mr kim, maka mr park menjadi residen indonesia sesuai uu pph.

     

    Intinya, tie breaker rule dapat diartikan sebagai jalan jika ada persons yang menjadi residen dua negara yang terikat p3b, jika hanya salah satu saja, maka tie breaker rule tidak dipakai dan berlaku undang2 domestik.

     

    Contoh lain yang pernah dijelaskan di kelas, menurut per dirjen no 2 tahun 2009, pekerja indonesia di luar negeri yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari ditetapkan sebagai spln, jika ada orang yang bekerja di negara malaysia sebagai tki di Malaysia, maka dia menjadi spln menurut ketentuan indonesia, jika menurut uu domestik malaysia si tki ini adalah residen malaysia, maka si tki menjadi spdn  malaysia saja karena tie breaker rule tidak dipakai karena menurut ketentuan indonesia si tki ini adalah spln.

    atas balasan kepada: Residence #3239 Score: 0
    Fifi
    Peserta
    • Total Posts 25
    • Offline
    • Points: 0
      mbelgedhes Newbie

    Izin menambahkan dan berpendapat.

    Sebagaimana kita tahu, apabila taxable subject pada awalnya ditentukan dari domestic rule masing2 negara.

    Apabila seseorang memperoleh pendapat dari world wide income dan dari negara sumber pendapatan serta negara domisili, atau domestic rule negara lain yang menyebutkan bahwa taxable subject tersebut masuk ke dalam kriteria subjek pajak dalam negaranya, yang berarti bahwa taxable subject memiliki lebih dari satu negara yang mengakuinya sebagai resident. Maka, penentuan negara mana yang berhak menjadikannya resident dilihat dari tie breaker rule yang ada pada treaty antara negara – negara terkait.

     

    Dari contoh yg sdri sebutkan di atas, pada dasarnya Mr. Park termasuk ke dalam subject dalam negeri mana harus melihat dari domestic rule masing2 negara terlebih dahulu. Kita tidak bisa semena – mena mengenakan tie breaker rule apabila belum terbukti adanya konflik yang menjadikan double taxation antar negara. Contoh apakah seseorang dianggap resident di Indonesia bisa dilihat dari time test dan ketentuan lainnya yang ada dalam hukum domestic Indonesia.

     

    Syarat – syarat menjadi resident sendiri diatur secara umum dalam OECD Model (personal scope dan liable to tax). Jika dilihat dari kasus yang diberikan, Mr Park bisa jadi diakui resident di dua negara, Indonesia (Memiliki istri dan Keluarga yang berarti berniat untuk tinggal -Syarat SPDN UU PPh dan PMK Pelaksananya) serta Jepang (permanent home – mendirikan rumah), namun bisa juga di Amerika dia mempunyai permanent home juga karena merupakan pengusaha yang mempunyai banyak rumah (dalam deskripsi soal) atau oleh domestic rule di US dapat disebutkan bahwa beliau SPDN US .

     
    <p style=”text-align: left;”>Jikalau seperti ini, maka tie breaker rule yang dijabarkan saudara zody dalam Art 4 OECD Model dapat dijalankan.</p>

Melihat 11 tulisan - 1 sampai 11 (dari total 11)
Chat Admin
Hai... apakah yang ingin Anda tanyakan tidak ada di menu Help kami?
Kontak WikiPajakChatWhatsApp