Balasan Forum telah dibuat
-
PenulisTulisan-tulisan
-
Waalaikumsalam wr.wb. Pagi juga, Kak.
Izin berpendapat…
Di Indonesia, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Kedudukan P3B berdasarkan ketentuan ini adalah lex specialist terhadap undang-undang domestik. Dengan demikian, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B.
Tapi harus diingat bahwa sepanjang ketentuan domestik dapat digunakan dan tidak ada konflik yang terjadi, maka tidak diperlukan untuk menggunakan ketentuan P3B/tax treaty:D
Selebihnya, berikut saya cantumkan link terkait Tax Treaty di Indonesia,
http://www.kabarpajak.com/2014/01/tax-treaty-p3b-di-indonesia.html
Untuk efektifitas penerapannya, saya belum yakin mengenai tolak ukur apa yang ‘cocok’ untuk digunakan. Namun di lain sisi, saya yakin bahwa pemerintah khususnya Kementerian Keuangan akan terus meningkatkan efektifitas penerapan tax treaty di Indonesia. Contohnya adalah dengan menerbitkan regulasi-regulasi yang dapat meningkatkan kemudahan dan mengurangi beban administrasi terkait tax treaty itu sendiri. Direktur Jenderal Pajak pada 21 November 2018 telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2019. Peraturan ini menggantikan PER-10/PJ/2017. Peraturan baru ini menyederhanakan proses administrasi untuk Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dalam menerapkan ketentuan dalam P3B antara Indonesia dengan negara atau yurisdiksi mitra P3B.
Semoga bermanfaat:D
Selamat malam Yana dan teman-teman semua…
Saya juga masih sering bingung ketika membaca kasus tentang penentuan resident seseorang hehe (you are not alone)~
Tapi setelah membaca beberapa komentar teman-teman yang lain, mungkin simple nya : kita harus mencari tahu dulu apakah terdapat ‘gesekan’ mengenai penentuan resident seseorang (dual-resident yang dapat menyebabkan double taxation) antara Indonesia dengan negara lain. Apabila tidak, maka tanpa ambil pusing kita bisa langsung menggunakan hukum domestik Indonesia (contoh: dengan time-test). Apabila terdapat konflik, dapat dilanjutkan dengan melihat aturan pada tie breaker rules.
Tambahan: mungkin teman-teman ada yang ingin membaca jurnal mengenai tax treaty (di dalamnya terdapat penjelasan mengenai residence juga), berikut link nya:
Demikian,
Terimakasih & Selamat UTS teman-teman^^
Halo Kak Tika dan teman-teman semua:D
Izin menanggapi…
Pada dasarnya Orang Pribadi Warga Negara Indonesia (WNI) merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri. Hal ini ditunjukkan dengan kewajiban pajak subjektif yang melekat kepadanya pada saat Orang Pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Namun demikian, dalam hal Orang pribadi WNI tersebut bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka status subjek pajaknya berubah dari Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Orang pribadi WNI dengan kondisi tersebut dianggap tidak bertempat tinggal di Indonesia dan bertempat tinggal tetap di luar negeri. Hal ini harus dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri, yaitu green card, identity card, dll.
Apabila Orang Pribadi WNI tersebut tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri sebagaimana dimaksud di atas, maka status subjek pajak Orang Pribadi WNI tersebut tetap SPDN.
Untuk aturan pemajakan atas penghasilan dari Indonesia dalam kasus tersebut, mungkin teman-teman bisa melihat gambar yang saya attach disini.. (Sumber: http://www.ortax.org/ortax/?mod=info&page=show&id=166&list=1,)
Semoga membantu..
Terimakasih & Selamat UTS teman-teman^^
Attachments:
You must be logged in to view attached files.Halo teman-teman semua
Izin menanggapi sedikit ya, Kak Otry:D
Seperti yang sudah kita pelajari bersama bahwa tie breaker rules dapat kita gunakan ketika terjadi ‘gesekan’ mengenai resident seseorang atau lebih sering kita sebut dengan istilah dual-resident. Sebagai tambahan, penekanan OECD Model adalah status resident dapat berubah dalam tahun berjalan menikuti perubahan lingkungan atau faktor yang menentukan status resident. Demikian pula konsekuensi pajak berubah mengikuti perubahan status resident…
Menurut saya, dalam kasus Mr. Kim dan Mr. Park ini cukup dilakukan time-test saja tanpa perlu melanjutkan ke tahap tie breaker rules.. Namun lain hal nya ketika terjadi benturan antara hukum domestik Indonesia & Korea dalam hal penetapan resident Mr. Kim dan Mr. Park (sehingga Mr. Kim dan Mr. Park menjadi dual resident), maka tie breaker rules dapat diberlakukan…
Demikian,
Terimakasih dan Selamat UTS teman-teman^^
-
PenulisTulisan-tulisan