Optimalisasi Potensi Pajak Penghasilan Dan Pajak Daerah Pada Usaha Indekos

PENDAHULUAN


Pajak Sebagai Penerimaan Negara

Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting dalam menopang pembiayaan belanja negara. Hampir setiap negara yang ada di dunia memungut pajak kepada warganya. Besar kecilnya pungutan pajak bergantung pada kebijakan masing-masing negara dalam mengelola keuangan dan ekonomi.

Bagi masyarakat, pajak seringkali dianggap sebagai beban mengingat adanya keharusan pembayaran pajak yang pada akhirnya akan mengurangi daya beli orang tersebut, terutama jika dibandingkan apabila tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Bagi ekonom, pajak bukan semata sebagai alat pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dana, tetapi juga untuk mempengaruhi perilaku masyarkat, baik perilaku ekonomis maupun psikologis. Beban bagi masyarakat di satu sisi dan potensi penerimaan yang cukup besar di sisi lain bagi pemerintah seringkali membuat manfaat dan peranan pajak dipandang berbeda, sesuai dengan sudut pandang masing-masing pihak.

Pemerintah merancang dan menjalankan program-program demi mencapai tujuan kesejahteraan dan kemamuran berupa penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan, pengadaan infrastruktur, pembangunan transportasi dan industri, penyediaan lapangan kerja, penguatan pertahanan dan keamanan serta menjalankan politik dan sosial budaya yang sesuai dengan cita-cita bersama.

Dalam setiap program pemerintah, dibutuhkan dana untuk menyukseskannya. Dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program pemerintah ini berasal dari kekayaan-kekayaan negara baik kekayaan anggota negara (individu yang bergabung dalam negara) maupun milik umum yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan negara

Pada saat ini, jumlah kebutuhan negara Indonesia yang tercermin dalam pengeluaran negara sangatlah besar seperti pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja yang memadai, penyediaan infrastruktur di berbagai wilayah terutama wilayah terpencil dan jauh dari pusat kota, kestabilan ekonomi dan lain-lain dibandingkan dengan kekayaan yang dimiiliki oleh negara dan negara yang lebih banyak membiayai kebutuhannya menggunakan kekayaan alamnya merupakan ciri negara yang tidak maju. Disinilah kebutuhan akan pajak muncul sebagai penerimaan utama negara. Melalui pajak, pemerintah berusaha mencapai tujuan target ekonomi antara lain pertumbuhan ekonomi, full employment, stabilisasi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.

Penghasilan Sebagai Objek PPh pasal 4 ayat (2)

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 adalah salah satu jenis pajak atas penghasilan dengan beberapa ketentuan spesifik mulai dari objek pajak, pemotong pajak sampai subjek pajak yang bisa dikenakan pajak tersebut. Pemotongan pajak dalam PPh Pasal 4 Ayat 2 bersifat final. Artinya, pajak harus diselesaikan atau dilunasi dalam masa pajak yang sama.

Yang menjadi pemotong PPh Pasal 4 Ayat 2 seperti yang telah diatur dalam ketentuan adalah koperasi, penyelenggara kegiatan, otoritas bursa, dan bendaharawan. Sementara yang menjadi penerima penghasilan yang wajib membayar PPh Pasal 4 Ayat 2 adalah penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi. Selain itu, penerima hadiah undian, penjual saham dan sekuritas lainnya, serta pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan juga wajib menyetor PPh Pasal 4 Ayat 2.

Menurut ketentuan, PPh Pasal 4 ayat 2 dikenakan atas penghasilan sebagai berikut:

  1. Penghasilan dalam bentuk bunga deposito serta tabungan lainnya, bunga obligasi serta surat utang negara, dan juga bunga simpanan yang telah dibayarkan oleh koperasi ke anggota koperasi orang pribadi.
  2. Penghasilan berupa hadiah undian.
  3. Penghasilan yang diperoleh dari transaksi saham serta sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan pada bursa, dan juga transaksi penjualan saham ataupun pengalihan penyertaan modal di perusahaan pasangannya yang telah diterima oleh perusahaan modal ventura.
  4. Penghasilan yang diperoleh dari transaksi pengalihan harta, yakni dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha real estate, usaha jasa konstruksi, dan juga penyewaan tanah dan/atau bangunan.
  5. Penghasilan tertentu lainnya, yang telah diatur dengan ataupun berdasarkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pengenaan PPh yang bersifat final berarti penghasilan yang diterima ataupun diperoleh akan dikenakan PPh dalam tarif tertentu. PPh yang dikenakan, baik itu yang dipotong pihak lain maupun yang sudah disetor sendiri, bukanlah pembayaran di muka atas PPh terutang, melainkan sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan itu.

Berdasarkan hal tersebut, penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak akan dihitung PPh-nya pada SPT lagi untuk dikenakan tarif umum bersamaan dengan penghasilan lainnya. Begitu pula, PPh yang telah dipotong ataupun dibayar tersebut juga bukanlah kredit pajak pada SPT.

Ada berbagai macam jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2. Setiap penghasilan mempunyai tarif yang berbeda-beda dan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP). Di bawah ini akan dijelaskan berbagai objek pajak dengan tarifnya masing-masing yang telah diatur Pemerintah.

  1. Bunga deposito serta jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan diskon jasa giro dikenakan tarif sebesar 20% sebagaimana telah diatur PP No. 131 Tahun 2000 serta turunannya Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001.
  2. Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada para anggotanya masing-masing dikenakan tarif 10% sebagaimana telah diatur pada Pasal 17 Ayat 7 serta turunannya PP No. 15 Tahun 2009.
  3. Bunga dari kewajiban dengan berbagai jenis tarif dari 0-20%. Penjelasan lebih lanjutnya bisa dicari dalam PP No. 16 Tahun 2009.
  4. Dividen yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan tarif 10% sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 Ayat 2C.
  5. Hadiah lotre atau undian dikenakan tarif 25% sebagaimana telah diatur PP No. 132 Tahun 2000.
  6. Transaksi derivatif berjangka panjang yang telah diperdagangkan di bursa dikenakan tarif 2,5% sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun 2009.
  7. Transaksi penjualan saham pendiri dan saham bukan pendiri (non-founder), tarifnya masing-masing adalah 0,5% dan 0,1%, seperti yang tercantum dalam PP No. 14 Tahun 1997 serta turunannya Keputusan Menteri Keuangan No. 282/KMK.04/1997, yang SE-15/PJ.42/1997 dan SE-06/PJ.4/1997.
  8. Jasa konstruksi dikenakan tarif 2-6%. Penjelasan lebih lanjutnya bisa ditemukan pada PP No. 51 Tahun 2008 serta turunannya PP No. 40 Tahun 2009.
  9. Sewa atas tanah dan/atau bangunan, tarifnya adalah 10% seperti yang telah diatur PP No. 29 Tahun 1996 dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002.
  10. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (dalam hal ini termasuk usaha real estate), tarifnya adalah 5% seperti yang tercantum dalam PP No. 71 Tahun 2008.
  11. Transaksi dari penjualan saham atau pengalihan ibu kota mitra perusahaan yang telah diterima oleh modal usaha, tarifnya adalah 0,1% sebagaimana telah diatur di dalam PP No. 4 Tahun 1995.

Pajak Hotel Sebagai Pajak Daerah

Menurut undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Dimana hotel didefinisikan sebagai fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Pajak hotel merupakan jenis pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Dalam pengertian ini hotel memiliki perluasan makna, tidak hanya dilihat dari izin usaha yang dimiliki, tetapi juga dilihat dari jenis usaha yang dilakukan pada kenyataannya, misalnya Wajib Pajak yang memiliki rumah kos lebih dari 10 (sepuluh) kamar adalah pengusaha hotel.

Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olah raga dan hiburan. Jasa penunjang yang dimaksud meliputi fasilitas telepon, faksimil, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. Tidak termasuk dalam objek pajak hotel diantaranya:

  1. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah
  2. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya
  3. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan
  4. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis
  5. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.

Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada hotel. Sedangkan Wajib Pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayarkan kepada hotel dengan tarif ditentukan paling tinggi sebesar 10 %. Pengenaan tarif ini diatur dengan Peraturan Daerah.

Tinjauan Potensi Pph Dan Pajak Hotel Atas Usaha Indekos


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada beberapa definisi yang perlu kita ketahui:

  1. in-de-kos adalah tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan); memondok;
  2. meng-in-de-kos-kan adalah menumpangkan seseorang tinggal dan makan dengan membayar; memondokkan.

Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilik rumah indekos adalah orang pribadi atau badan yang memiliki rumah, kamar, atau bangunan, yang disewakan kepada pihak lain sebagai tempat tinggal/pemondokan dan mengenakan pembayaran sebagai imbalan dalam jumlah tertentu. Atas penghasilan dari persewaan rumah indekos tersebut, pemilik rumah indekos dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang bersifat final.

Dasar hukum yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Paal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah:

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002;
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/ KMK.04/1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
  3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
  4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996 tentang Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

Subjek Pajak persewaan tanah dan/atau bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari persewaan atas tanah dan/ atau bangunan yang berupa tanah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, dan bangunan industri. Termasuk dalam pengertian rumah adalah rumah indekos.

Objek Pajak persewaan tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan dari persewaan atas tanah dan/atau bangunan yang berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, dan bangunan industri. Termasuk dalam pengertian rumah adalah rumah indekos. (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002)

Tarif Pajak Penghasilan Pajak 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 10% X jumlah bruto nilai persewaan

  • Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya, dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002);
  • Service charge adalah balas jasa yang menyebabkan ruangan yang disewa dapat dihuni sesuai dengan tujuan yang diinginkan penyewa yang diantaranya adalah biaya istrik, air, keamanan, kebersihan, dan biaya administrasi.

Dalam kaitannya dengan kewajiban perpajakan, penyewa rumah indekos dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:

  1. pihak penyewa merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh;
  2. pihak penyewa merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang ditunjuk sebagai pemotong PPh.

Yang menjadi pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau bangunan adalah:

  1. badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
  2. orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong berdasarkan KEP-50/PJ./1996. Surat keputusan penunjukan yang diterbitkan oleh kepala KPP dengan menggunakan formulir yang ada di lampiran KEP-50/PJ./1996, yaitu:
  3. akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
  4. orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan; yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri.

Berdasarkan pada pengelompokan pihak penyewa rumah indekos tersebut, kewajiban perpajakan terkait dengan sewa rumah indekos adalah sebagai berikut:

  • Apabila penyewa merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh, maka kewajiban perpajakan ada pada pemilik rumah indekos yaitu antara lain:
  1. menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) ke bank atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan mencantumkan NPWP pemilik rumah indekos, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran;
  2. melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran.
  • Apabila penyewa merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang ditunjuk sebagai pemotong PPh, maka kewajiban perpajakan ada pada penyewa yaitu antara lain:
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada pemilik rumah indekos;
  2. menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) ke bank atau kantor pos dengan menggunakan SSP dan mencantumkan NPWP pemilik rumah indekos serta ditandatangani oleh pihak penyewa, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran;
  3. melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran.
  • Apabila dalam suatu bulan pajak tidak ada PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang maka Wajib Pajak tidak perlu melakukan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
  • Selain melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) dalam hal pemilik rumah indekos merupakan Orang Pribadi maka juga memiliki kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi paling lama tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Penghasilan yang diterima dari persewaan tanah dan/atau bangunan serta PPh Pasal 4 ayat (2) yang tertuang dituangkan ke dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pada Lampiran SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Dalam penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tersebut, Wajib Pajak harus melampirkan:
  1. Surat Setoran Pajak (SSP), apabila pihak penyewa merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh;
  2. Bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2), apabila pihak penyewa merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang ditunjuk sebagai pemotong PPh.

Hal ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Menurut ketentuan itu, pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Jenis pajak ini termasuk pajak daerah tingkat dua (kabupaten/kota). Yang dimaksud hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran. Jasa yang dimaksud termasuk fasilitas penunjang yang memberikan kemudahan dan kenyamanan, antara lain fasilitas hiburan dan olah raga, jasa telepon, faksimili, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci-setrika (laundry), transportasi, dan sebagainya yang disediakan atau dikelola hotel.

Definisi ini mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10. Sehingga rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 memiliki potensi dikenakan pajak hotel yang merupakan pajak daerah.

Permasalahan Pph Dan Pajak Hotel Serta Potensinya Di Usaha Indekos


Dalam pelaksanaan pemungutan PPh dan Pajak Hotel atas usaha indekos, DJP dan Pemerintah Daerah masih mengalami permasalahan-permasalahan dan hambatan yang membuat Pajak atas usaha indekos menjadi tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain yaitu :

  1. Masih Rendahnya Kesadaran Pemilik Rumah/Usaha Indekos Untuk Membayar Pajak

Rendahnya kesadaran pemilik rumah/usaha indekos dalam membayar pajak dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah karena ketidaktahuan mereka tentang ketentuan dan tatacara perpajakan Indonesia terutama mengenai usaha indekos bahkan banyak yang tidak tahu bahwa ada kewajiban perpajakan dalam usaha indekos. Selain itu, ketidakpahaman masyarakat Indonesia tentang ketentuan dan tatacara perpajakan itulah yang menjadikan masyarakat Indonesia memilih untuk tidak ber-NPWP karena mereka beranggapan dengan ber-NPWP akan menyulitkan atau membuat mereka bingung dan ketakutan. Apalagi dengan diberlakukannya sistem self assessment pada pajak penghasilan membuat masyarakat Indonesia yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif pajak menjadi ketakutan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Sistem self assessment menuntut masyarakat sebagai wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya secara aktif, mulai dari mendaftarkan diri, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya kepada kantor pajak. Sistem ini juga menuntut masyarakat untuk secara aktif belajar atau mengetahui isi dan maksud suatu peraturan perpajakan dalam rangka untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik. Kebanyakan masyarakat takut melakukan kesalahan dalam membayar atau melaporkan pajak yang menyebabkan mereka terkena denda pajak yang jumlahnya tidak sedikit. Fakta bahwa kesadaran masyarakat Indonesia untuk membaca masih sangat rendah, terutama dalam membaca peraturan-peraturan yang berhubungan dengan hukum dan negara, membuat hal ini semakin sulit. Selain itu, kekhawatiran terhadap penyalahgunaan uang pajak seringkali menjadi pemikiran masyarakat. Bagaimana pajak itu akan dikelola dan ke mana uang pajak itu akan disalurkan, mengingat timbal balik yang diberikan kepada masyarakat dianggap kurang. Apalagi dengan maraknya pemberitaan negatif terhadap pegawai-pegawai pajak, membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan DJP.

  1. Sulitnya Mendapat Informasi Dari RT/RW Setempat Mengenai Rumah/Bangunan Yang Disewakan Di Lingkungan Setempat

Mengingat sistem pajak di Indonesia yang menerapkan sistem self assessment, maka kewajiban perpajakannya sepenuhnya berdasarkan laporan wajib pajak (WP). Namun, seperti diketahui sebelumnya bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih rendah dan banyak WP yang menyembunyikan hartanya termasuk rumah/bangunan yang disewakan serta usaha indekos yang dimilikinya.

Begitu juga apabila kita menggali informasi dari lingkungan setempat, kebanyakan RT/RW tidak mau memberikan informasi mengenai rumah/bangunan yang disewakan serta usaha indekos yang ada disekitar lingkungannya karena merasa tidak memiliki kepentingan, sehingga banyak potensi usaha indekos yang tidak dapat dilacak oleh DJP.

  1. Kurangnya Pengetahuan Masyarakat Luas Mengenai Pemungutan Pajak Atas Usaha Indekos

Pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai pajak di Indonesia masih kurang, hal itulah yang menyebabkan tingkat kepatuhan pajak di Indonesia juga rendah, bahkan masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan Pajak Restoran dan PPN yang dipungut. Apalagi mengenai pajak terhadap usaha indekos yang termasih baru, masih banyak masyarakat yang heran kenapa kos-kosan dikenakan Pajak Hotel padahal Kos-kosan bukanlah hotel. Selain itu pemungutan PPh final pasal 4 ayat (2) juga terasa memberatkan bagi WP jika bangunan yang disewakan dalam rangka kebutuhan pribadi. Hal inilah yang melatari masih rendahnya potensi pajak atas usaha indekos karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui dan enggan membayar karena menganggap pajaknya kecil. Padahal jika seluruh usaha indekos dipajaki dan membayar sesuai kewajibannya, maka potensi pajak dari sector usaha ini sangatlah besar.

  1. Masih Rendahnya Penerimaan Pendapatan Dari Pajak Sewa Tersebut Karena Wajib Pajak Yang Telah Membayar Pajak Sewa Tersebut Kepada Pemerintah Pusat Sehingga Wajib Pajak Tersebut Tidak Membayar Lagi Pajak Kepada Pemerintah Daerah

Banyak Wajib Pajak yang masih tidak tahu bahwa atas usaha Indekos dikenakan pajak atas 2 jenis yang berbeda, yaitu Pajak atas sewa final PPh pasal 4 ayat (2) dan Pajak Hotel jika usaha indekosnya memiliki lebih dari 10 kamar karena berdasarkan UU PDRD indekos dengan kamar lebih dari 10 termasuk dalam pengertian hotel.

Atas perbedaan tersebut, maka pemungut pajak atas kedua jenis pajak tersebut berbeda, PPh final pasal 4 ayat (2) dipungut oleh pemerintah pusat melalui DJP, sedangkan Pajak Hotel dipungut oleh Pemerintah daerah melalui Dispenda masing-masing. Namun masih banyak  WP yang belum mengetahui hal ini sehingga potensi atas pajak usaha indekos ini tidak maksimal.

Upaya Yang Dapat Dilakukan Djp Dan Pemerintah Daerah Untuk Mengoptimalkan Potensi Perpajakan Pada Usaha Indekos


Penerimaan pajak dari sektor usaha kos-kosan selama ini belum tergali dengan optimal. Sebagian besar pemilik kos belum memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan. Upaya utama yang dapat dilakukan DJP dan Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan pajak dari sector usaha kos-kosan adalah dengan melakukan sosialisasi lebih lanjut mengenai pemungutan atas pajak sektor usaha kos-kosan dan memberikan pengertian betapa pentingnya untuk membayar pajak.

Selain dapat mensosialisasikan tentang pajak di usaha sektor kos-kosan, pemerintah dapat menerapkan aturan untuk membedakan surat izin membangun antara rumah/bangunan untuk ditinggali dan bangunan yang dijadikan kos-kosan. Selain itu, DJP dapat melakukan beberapa langkah berikut yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat antara lain, yaitu :

  1. Buat sistem pemungutan pajak lebih simpel, jelas, mudah dan waktu yang singkat;
  2. Tingkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kalau pemerintah dapat dipercaya dan memakai uang pajak dengan benar, siapa saja pasti rela bayar pajak;
  3. Harus mampu mengikis habis oknum-oknum mafia pajak tidak bertanggung jawab sehingga masyarakat tidak ragu dan bangga menjadi pembayar pajak;
  4. Semangat pelayanan publik harus lebih dominan dalam operasional DJP dibanding sebagai aparat pemerintah yang berhak menjatuhkan sanksi atas pelanggaran perpajakan;
  5. Kembangkan sistem manajemen pajak yang lebih terbuka dan transparan untuk publik;
  6. Penarikan pajak harus terasa adil dan tidak boleh ada korupsi penggunaan pajak itu sedikit pun;
  7. Bangun karakter para pegawai DJP untuk menjadi pribadi-pribadi pegawai pajak yang jujur semua;
  8. Berbagai langkah reformasi yang dilakukan DJP harus dipublikasikan secara luas dan terus-menerus;
  9. Bekerjasama dengan PPATK untuk memonitor kekayaan petugas pajak di seluruh Indonesia, sehingga sebelum terungkap di media, DJP sudah menindaknya dan mempublikasikan ke media.

Kesimpulan


Berdasarkan  uraian yang telah penulis uraikan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu, antara lain :

  1. Atas usaha indekos, dikenakan 2 pajak yang berbeda yaitu pajak atas penghasilan final pasal 4 ayat (2) : Sewa atas tanah dan/atau bangunan, tarifnya adalah 10% seperti yang telah diatur PP No. 29 Tahun 1996 dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002 dan dijuga dikenakan  Pajak Hotel yang merupakan pajak daerah untuk kos-kosan yang memiliki kamar lebih dari 10 sesuai dengan UU  nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang tarif pajaknya di atur oleh  Pemerintah Daerah  maksimal 10 % di kali Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
  2. Dalam pelaksanaan pemungutan PPh dan Pajak Hotel atas usaha indekos, DJP dan Pemerintah Daerah masih mengalami permasalahan-permasalahan dan hambatan yang membuat Pajak atas usaha indekos menjadi tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain yaitu :
  3. Masih rendahnya kesadaran pemilik rumah/usaha indekos untuk membayar pajak
  4. Sulitnya mendapat informasi dari rt/rw setempat mengenai rumah/bangunan yang disewakan di lingkungan setempat.
  5. Kurangnya pengetahuan masyarakat luas mengenai pemungutan pajak atas usaha indekos.
  6. Masih rendahnya penerimaan pendapatan dari pajak sewa tersebut karena wajib pajak yang telah membayar pajak sewa tersebut kepada pemerintah pusat sehingga wajib pajak tersebut tidak membayar lagi pajak kepada pemerintah daerah.
  7. Upaya utama yang dapat dilakukan DJP dan Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan pajak dari sektor usaha kos-kosan adalah dengan melakukan sosialisasi lebih lanjut mengenai pemungutan atas pajak sektor usaha kos-kosan dan memberikan pengertian betapa pentingnya untuk membayar pajak.

Daftar Pustaka


, , ,

Comments are closed.
Chat Admin
Hai... apakah yang ingin Anda tanyakan tidak ada di menu Help kami?
Kontak WikiPajakChatWhatsApp